Jumat, 09 November 2012 | 21:46:35 WITA | 177 HITS
Kecolongan Pemberian Grasi Narkoba
Dok/Fajar
Marwan Mas
Oleh: Marwan mas (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar)
PEMBERIAN grasi
bagi terpidana narkoba kembali menggeliat perdebatannya di ruang publik.
Ini dipicu oleh tertangkapnya seorang kurir yang membawa sabu seberat
775 gram di Bandara Husein Sastranegara, Bandung 4 Oktober oleh
Badan Narkotika Nasional (BNN). Menurut BNN, sang kurir menyelundupkan
barang haram atas suruhan terpidana mati kasus narkoba bernama Meirika
Franola yang baru saja mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Franola yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita
Tangerang, ternyata masih saja aktif mengendalikan bisnis haramnya di
balik penjara. Padahal, sudah diberi grasi dari pidana mati menjadi
pidana penjara seumur hidup, yang berarti selama ini memiliki perilaku
yang baik dalam penjara. Wajar jika publik menuding, Presiden SBY
kecolongan, kalau tidak dikatakan “dikelabui” oleh laporan petugas
Lapas, termasuk telah mempertimbangkan pendapat Mahkamah Agung (MA).
Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi Lapas Wanita Tangerang harus
bertanggung jawab atas data yang tidak benar dan akurat yang diberikan
kepada presiden.
Evaluasi dan Hentikan
Sejak maraknya pemberian grasi bagi terpidana mati kasus narkoba dan
terpidana penjara korupsi, sebetulnya selalu disorot dan dikritisi.
Tetapi selalu saja mulus langkahnya dengan berbagai alasan. Misalnya,
karena alasan kemanusian, memiliki perilaku yang baik di Lapas, atau
karena ingin agar warga Indonesia yang menjadi terpidana di negara lain
bisa diperlakukan sama. Wajar jika publik menuntut agar pemberian grasi
bagi terpidana narkoba, terpidana korupsi, dan terorisme segera
dihentikan lantaran mencederai rasa keadilan masyarakat, serta
berpotensi menimbulkan bahaya di masa mendatang.
Seperti diketahui, Franola bersama dua sepupunya, Deni Setia Maharwa,
dan Rani Andriani divonis hukuman mati tahun 2000. Ketiganya terbukti
bersalah menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3 kg kokain melalui
Bandara Soekarno-Hatta ke London pada 12 Januari 2000. Deni Setia
Maharwa juga mengikuti jejak Franola, diberi grasi oleh presiden. Maka
itu, berkaca dari kasus Franola yang ternyata masih aktif dalam
peredaran gelap narkoba di balik penjara, pemberian grasi harus
dievaluasi untuk kemudian dihentikan.
Grasi merupakan pengampunan dari Kepala Negara sebagai salah satu elemen
hukum yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Dalam sejarah
perjalanan grasi, umumnya diberikan karena pertimbangan kemanusiaan
setelah memperhatikan pertimbangan MA. Tidak boleh semabarangan
diberikan, harus tetap mengacu pada akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan terpidana, seperti kepentingan para korban atau calon korban
sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM). Para generasi
muda memilki hak untuk dilindungi dari dampak penyediaan dan pengedaran
narkoba yang mengancam keselamatan jiwa.
Grasi dan berbagai bentuk pemberian keringanan hukuman bagi bandar
narkoba, selain menodai HAM generasi muda, juga membuka peluang untuk
menguatkan mafia narkoba. Kasus Franola tidak bisa dinafikan sebagai
indikasi bahwa Lapas bukan sebuah lembaga yang benar-benar imun dan
terisolasi dari peredaran gelap narkoba. Banyak bukti terurai, misalnya
saat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana melakukan sidak di
Lapas, ditemukan barang haram itu beredar di kalangan narapidana.
Fenomena yang di luar logika ini, tidak mungkin lancar berjalan tanpa
ada restu dari petugas Lapas, sehingga Lapas menjadi salah satu tempat
yang aman bagi bandar dan peredaran narkoba.
Mafia Narkoba
Lebih jauh dari itu, kita harus lebih sigap menangkal dampak dan
pengaruh yang terjadi di negara-negara tempat mafia narkoba yang begitu
kuat, seperti Kolombia, Meksiko, dan sejumlah negara di kawasan Amerika
Latin. Betapa tidak, mafia narkoba pada negara-negara tersebut berhasil
mendikte para penegak hukum dan orang-orang di pemerintahan. Untuk
melanggengkan bisnis mereka, uang sogokan akan disebar kepada pengambil
kebijakan yang terkait dengan penanggulangan narkoba.
Jika uang tidak mempan membungkam aparat hukum dan pemerintahan,
tindakan kekerasan pun dilakukan dengan membunuh aparat hukum seperti
aparat kepolisian, jaksa, atau hakim yang mencoba menghalangi bisnis
haramnya. Tindakan teror dalam kehidupan masyarakat juga dilakukan,
misalnya mengancam dan meneror kompleks pemukiman yang menjadi tempat
peredaran narkoba jika ada warga yang melapor kepada polisi. Negeri ini
tidak boleh menjadi surga peredaran narkoba, terutama setelah fakta
menunjukkan bahwa peredaran gelap narkoba sudah merambah subur di
kota-korta besar Indonesia, termasuk Makassar.
Langkah mafia narkoba begitu berani mengeluarkan banyak uang untuk
menjamin hidup para kurir mereka, baik sebelum tersentuh aparat hukum
maupun saat ditangkap dan dipenjara. Hidup mereka, terutama keluarganya
akan dijamin oleh para bandar, sehingga merekrut orang-orang Indonesia
menjadi kurir bukan sesuatu yang sulit. Iming-iming kehidupan yang
menjanjikan, ditambah sulitnya mendapatkan pekerjaan menjadi satu
kesatuan yang harus kita eliminir bersama.
Lebih meyakinkan lagi saat para bandar dan mafia narkoba dari luar
negeri mengetahui realitas hukum negeri ini yang bisa dibeli. Bahwa
hukum Indonesia yang masih permisif terhadap pelaku kejahatan narkoba,
tentu tidak mungkin dimungkiri. Hadiah grasi bagi Franola meskipun
mendekam dalam penjara merupakan bukti, lantaran masih saja bebas
beraksi. Maka itu, adanya bisik-bisik bahwa Presiden SBY akan menganulir
grasi yang diberikan pada Franola akibat kecolongan, dari satu aspek
patut diapresiasi. Tetapi pada aspek lain perlu dijarikan pelajaran
untuk mengatakan “tidak ada grasi” bagi bandar penjahat narkoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar